Langsung ke konten utama

Jendela Kebohongan Chapter 4


Chapter 4 : Sebuah Koin

            Setelah janjiku bersama Wesly, sedikit demi sedikit pandanganku terhadap uang mulai berubah, setiap koin merupakan sesuatu yang berharga. Setiap awal bulan aku tidak segan-segan menitipkan sejumlah uang bulananku yang cukup besar kepada Wesly, tidak diketahui oleh orang tuaku, aku tidak punya alasan untuk meminta lebih dari mereka. Masalah ini dibuat olehku dan hanya bisa diatasi oleh diriku sendiri.
            Tiga bulan pertama adalah waktu paling menyiksa untukku. Diriku sejak awal bukanlah seseorang yang bisa menabung. Bukan berarti aku tidak pernah mencoba, tentu saja pernah hanya saja tidak pernah berhasil. Dari pagi dimana aku selalu ke sebuah mini market untuk membeli sarapan harus ku tiadakan, karena aku tahu roti dan susu dari mini market tersebut tidaklah murah, membuatku harus memikirkan apa yang harus kumakan saat pagi hari. Tidak banyak hal, hingga akhirnya aku harus membuat kopi setiap pagi. Menyebalkan pikirku, diriku adalah seseorang yang pemalas, waktu yang biasa ku pakai untuk makan sandwich berubah menjadi waktuku menunggu air mendidih, dan mulai meminum kopi, kadang kala aku bisa makan sedikit biskuit. Hal yang paling tidak kusuka tentu saja setelahnya, aku harus membersihkan gelas-gelasku, dan kadang remah remah biskuit di atas mejaku.
            Sedangkan untuk makan siang, jika aku beruntung maka aku sedang berada di kampusku saat waktu makan siang, terdapat begitu banyak tempat makan murah yang terletak di sekitar kampusku. Tetapi sebagian besar bukan itu kasusnya. Aku selalu berada di dalam kamar kosku saat makan siang. Biasanya kelasku mulai dari pagi sekali dan selalu berakhir bahkan sebelum makan siang. Aku ingin pulang, aku tidak ingin menunggu waktu makan siang di kampus.
            Menggunakan jasa pesan antar menyelamatkanku, tetapi tidak semua tempat melakukan pesan antar secara gratis. Itu selalu membuatku berpikir dua kali. Jalan kaki kesana aja gak ya? Dan biasanya selalu berakhir aku membayar biaya pesan antar. Makan malam, biasanya aku pergi keluar bersama kawanku yang satu kos denganku, jadi menurutku makan malam tidak pernah menjadi masalah, karena aku tidak pernah keberatan berjalan jauh untuk bisa makan bersama mereka. Tentu saja bayar dengan terpisah.
            Aku menceritakan hal ini kepada wesly.
            Kau masih yakin dengan rencana ini? Tanyanya
            MASIH balasku.
            Santai… santai… tetapi kebiasaanmu ini, membuatku terlihat buruk.
            Aku tahu…. Tapi harus kulakukan Wes, demi dirinya.
            Apa ini sepadan?
            Apa maksudmu ? Untuk sesaat aku mulai merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaannya.
            Semua hal ini, bisa membuat dirimu buruk. Apa menurutmu sepadan?
            ….. Jujur saja, aku tidak tahu harus membalas apa.
            Sudahlah, kau sedang liburan bukan? Tanyanya tiba-tiba.
            Yup, kenapa?
            Biasanya liburan makan apa? Wesly terlihat seperti ingin merubah topik pembicaraan.
            Aku tidak sarapan, kau tahu, liburan. Mana mungkin diriku bisa bangun pagi. Balasku.
            Hahaha, klo gitu siang biasanya makan apa? Setelah dirinya membalas ini, aku langsung teringat. Bahwa diriku yang liburan bahkan tidak makan siang. Aku selalu tertidur jam tiga atau empat pagi. Membuatku selalu terbangun lewat dari jam siang.
            Umm.. biasa nasi ayam atau sejenisnya. Bohong diriku.
            Oh… lalu kami mulai berbasa-basi.
            Setelah pembicaraan itu aku mulai keluar dari kamarku, pergi ke balkon gedung kosku. Aku berdiri disana, merasakan angin berhembus.
            Aku mulai buruk dalam menjaga diriku sendiri pikirku. Langit terlihat begitu gelap, tentu saja. Sudah jam sebelas malam. Mengeluarkan sebuah earphone dari kantong celanaku, lalu mulai mendengarkan lagu dari handphoneku.
            Apa ini sepadan…? Pikirku lagi.
            Aku menghabiskan waktu dua jam memikirkan hal tersebut. Melihat handphoneku. Ah.. baterainya tersisa sepuluh persen.
            Akhirnya ku kembali ke kamarku, lalu mulai mengisi ulang handphoneku. Tepat disamping charger handphoneku terlihat sebuah koin. Aku mengambilnya lalu melihatnya.
            Sepadan….? Bodo amat.
            Tiga bulan pertama mungkin adalah waktu paling menyiksa, bukan berarti bulan ke-empat aku mulai mencari solusi. Tetapi diriku menjadi semakin terbiasa dengan kebiasaan yang cukup buruk ini, dan tidak ada satupun ornag yang bisa menghentikanku sekarang.

Chapter 5 : Interaksi

-CBR-

Komentar