Biasanya
saat kita masih kecil, kita selalu bercita-cita akan hal yang umum, seperti
dokter, polisi, pilot dan lainnya. Tidak berbeda dengan gua yang dulunya bercita-cita
untuk menjadi TNI, karena salah satu sepupuku telah mengenalkan pada gua apa
itu senjata api. Dia mulai mengajak gua untuk bemain game tembak-tembakan yang
sangat popular saat gua masih SD, ya, saat gua SD. Cita-cita itu gua pegang
hingga memasuki masa SMP, dimana saat ini kita mulai berpikir lebih luas, gua ngak
punya cita-cita yang pasti saat itu, tetapi gua sangat ingin berada di dunia
teknologi, SMA-pun datang, dan sekarang cita-cita gua pun ganti. Gua ingin menjadi
seseorang yang bekerja di bidang agrikultur, terutama di bidang kopi dan teh,
tentu saja di tolak. Akhirnya sekarang cita-cita gua adalah, membuka sebuah café,
bersama sahabat-sahabatkut.
Vina,
aslinya memiliki nama yang terdengar seperti nama seorang lelaki, jadi saat Tio
membicarakan tentang dirinya gua selalu anggap Vina itu seorang lelaki. Hingga
saat kelas 8, untuk pertama kalinya gua bertemu dengannya. Ternyata dia adalah
seorang perempuan yang cukup pendek diantara orang-orang kami, dengan tampang
yang menarik. Seorang perempuan yang ternyata suka anime (dulu), pandai
menggambar, dan seseorang yang senang bermain game. Terdengar seperti perempuan
impian untuk seseorang yang menyukai anime atau gamers bukan? Ya, bisa saja,
tetapi mencoba untuk mendapatkan Vina sekarang mungkin merupakan hal yang
mustahil sekarang.
Tubuhnya
yang kecil membuat orang-orang di sekitarnya memanggilnya chibi yang artinya
kecil, dan hingga sekarang panggilan itu masih terngiang di kepalaku, karena
hal itu ketika gua ngak sengaja memanggil chibi dengan nama aslinya, gua merasa
aneh. Apa gua pernah mencoba untuk mendapatkan Vina? Tentu saja. Tapi tak perlu
waktu banyak untuk mengetahui bahwa itu hal yang mustahil. Tidak begitu banyak
hal yang dapat kubicarakan tentang Vina tentang kami berdua. Gua memang sering
memberikan saran dan pendapat tentang karya yang selalu ia buat. Dia juga
merupakan seorang desainer untuk buku tahunan kami, dan kami puas dengan
hasilnya. Sekarang dia berada di universitas yang hanya terpisah 1 kota dari
universitasku. Mengambil jurusan DKV, dia memulai sebuah kehidupan penuh tugas,
dan hari-hari tanpa tidur. Sedangkan gua biasanya ditanya untuk memberikan pendapat
atau saran untuk tugas-tugasnya.
Tio
berada di ujung Jawa, aku berada di ujung jawa satunya lagi, dan Vina bahkan lebih
jauh dari kami berdua. Bagaimana bisa gua mengatakan kalau Vina membuat hubungan
pertemanan kami tetap utuh? Karena Vina adalah pacar Tio. Cerita bagaimana
mereka dapat berakhir menjadi seorang pasangan adalah cerita bak drama korea
atau manga shoujo jepang. Cukup unik, gua bukanlah jembatan hubungan mereka,
tapi gua di sana melihat drama itu berlangsung. Tentu saja itu cerita untuk
hari-hari selanjutnya, karena sekarang gua hanya ingin mengenalkan mereka.
Menuju
kedewasaan membuat Vina sadar akan dirinya tidak cocok lagi di dunia anime,
membuatnya beralih ke dunia yang lebih umum di kalangan para perempuan, K-pop,
tetapi yang gua tahu bahwa Vina hanya mendengar lagu-lagu k-pop, dia tidak nonton
drama ataupun hal lain. Hanya lagu, dan tidak hanya boyband, melainkan girlband
juga. Sedangkan diriku dan Tio, meski kami semakin menggila dengan anime saat
SMP, tetapi menuju akhir SMA pun sedikit demi sedikit ketertarikan kami seperti
yang dulunya mulai memudar, diriku mulai lebih sering bermain game daripada menonton
anime, gua dan Tio pun mulai jarang membicarakan anime. Gua ngak bisa bilang
kalau ketertarikan kami hilang, itu mungkin sudah tidak mungkin, tetapi segala
hal bisa saja kehilangan cahayanya, tetapi akan ada waktu lagi dimana cahaya
itu akan kembali bersinar terang.
Mike
dan Hari adalah sepupuku, mereka 2 dan 1 tahun lebih tua dari gua, tapi gua
ngak pernah merasa lebih muda dari mereka, kami setara, dan gua ngak mau tahu
apa yang mereka pikirkan. Tentu saja gua sudah kenal Mike sejak kecil, bahkan
kedekatan kami sudah seperti seorang saudara kandung, gua mengenal Hari saat
dirinya masih SMP, terlihat begitu culun dengan kacamata tebalnya dan pergi ke
warnet hanya untuk main nDS. Tetapi, kami bertiga berakhir menjadi trio yang
aneh. Kami selalu mengimajinasikan sesuatu, seperti saat kami bosan, bisa saja
tiba-tiba kami membuat sebuah drama pendek atau sejenisnya, ntahlah, hal-hal
gila.
Kedua
orang inilah alasan gua kenapa gua bisa nyasar ke universitas ini dan meninggalkan
Tio (untuk sesaat gua mulai merasa kesal dengan mereka dua), tetapi dengan
mereka sebagai orang yang sudah pernah merasakan bagaimana kuliah disini lebih
meyakinkan orangtuaku untuk belajar disini, berbeda dengan tempat Tio dimana
bahkan gua bahkan tidak punya keluarga yang tinggal disekitar sana.
Kami
selalu melakukan hal-hal konyol dan tidak berguna, gua ngak bisa ingat apa yang
selalu kami lakukan karena itu biasanya hanya berlangsung sesaat dan kami
selalu tertawa geli setelah hal itu berlangsung, sangat menyenangkan tetapi juga
terdengar gila di masyarakat.
Lalu gua
punya teman lain, Tompel, seseorang yang selalu kami buli karena kepribadiannya
(dia ini brengsek, jadi percayalah, apa yang kami lakukan itu memang bukan
karena dia keterbelakangan atau apapun), Rivael, seseorang yang selalu membanggakan
dirinya sebagai seorang jomblo elit. Alvin, salah satu teman gua yang normal,
menyukai hal-hal berbau otomotif dan teknologi komputer. Rivan, teman normal
gua yang lain, dia adalah orang yang bisa disebut sebagai atlit sekolah, sangat
atletis, dan gua ngak ingat lagi sekarang. Mungkin yang lainnya akan disebutkan
seiring semakin panjangnya cerita ini.
Setiap
kali gua membaca internet, banyak sekali topik kasus pembulian saat di SMA atau
SMP, tidak hanya di indonesia, tetapi juga di luar negeri, terutama di negara maju
juga sering terjadi kasus pembulian. Itu membuatku berpikir dua kali untuk
mencari seorang kawan. Sejak diriku masuk sekolah, gua yakin gua ngak pernah
dibuli, tetapi gua merasa bahwa diriku pernah membuli seseorang, bahkan gua
sangat ingat kalau gua itu dulu cukup kecil saat SD. Masa sekolahku sisanya
adalah masa sekolah bebas buli, di mana gua tidak pernah mendengar insiden buli,
ya, paling cuman buli kayak menghina sesama atau menghina hobi, tetapi itu
adalah hal yang wajar.
Hal ini
membuat diri gua sebagai seorang pelajar dan mahasiswa tidak pernah merasakan apa
itu dibuli. Beberapa kawan gua mengatakan hal itu merupakan hal yang harusnya
disyukuri, karena dia sendiri pernah dibuli dan rasanya sangat menyakitkan. Gua
gak bisa menyangkalnya, tetapi itu membuat gua berpikir hal baru. Seseorang
belajar untuk menjadi kuat biasanya karena mereka pernah merasakan hal
tersebut. Diriku tidak pernah dibuli, apakah gua akan kebal saat hal itu
terjadi nantinya di masa depan? Saat gua masih kuliah atau di tempat kerja.
Siapa tahu.
Komentar
Posting Komentar